Ketika kapal berada di tengah laut, kita dapat menentukan arah dan posisi kapal dengan menggunakan benda-benda angkasa sebagai referensi. Metoda penentuan posisi kapal dengan cara ini disebut Penentuan Posisi Secara Astronomis.
Alat yang digunakan untuk melakukan hal ini, yang utama adalah Sextan. Sextan digunakan untuk ' membidik ' atau ' menembak ' bintang. Yang dimaksud dengan membidik atau menembak bintang ialah kegiatan untuk mengukur tinggi benda angkasa / bintang dengan sextan. Tinggi bintang diukur dihitung dari ' tepi langit ' ke arah bintang. Dan dengan menggunakan sextan, pertama teropong dari sextan diarahkan ke bintang yang dipilih, kemudian pengatur tinggi digerakkan sedemikian rupa sampai bintang yang dipilih tersebut berimpit dengan tepi langit.
Hasilnya dapat dibaca berupa tinggi bintang dalam ukuran busur suatu lingkaran yang dinyatakan dalam derajat, menit, dan detik. Waktu pengukuran dicatat, berdasarkan jam yang khusus dibuat untuk keperluan navigasi di kapal laut, yaitu Chronometer. Waktu pengukuran ini nantinya diperlukan untuk menghitung asumut bintang, setelah diperhitungkan dengan lintang dan bujur tempat pengukuran itu dilakukan.
Alat yang digunakan untuk melakukan hal ini, yang utama adalah Sextan. Sextan digunakan untuk ' membidik ' atau ' menembak ' bintang. Yang dimaksud dengan membidik atau menembak bintang ialah kegiatan untuk mengukur tinggi benda angkasa / bintang dengan sextan. Tinggi bintang diukur dihitung dari ' tepi langit ' ke arah bintang. Dan dengan menggunakan sextan, pertama teropong dari sextan diarahkan ke bintang yang dipilih, kemudian pengatur tinggi digerakkan sedemikian rupa sampai bintang yang dipilih tersebut berimpit dengan tepi langit.
Hasilnya dapat dibaca berupa tinggi bintang dalam ukuran busur suatu lingkaran yang dinyatakan dalam derajat, menit, dan detik. Waktu pengukuran dicatat, berdasarkan jam yang khusus dibuat untuk keperluan navigasi di kapal laut, yaitu Chronometer. Waktu pengukuran ini nantinya diperlukan untuk menghitung asumut bintang, setelah diperhitungkan dengan lintang dan bujur tempat pengukuran itu dilakukan.
Tinggi bintang hasil dari pengukuran dengan sextan disebut ' tinggi ukur ' dengan simbol ' tu ', dan ini nantinya perlu dikoreksi lagi untuk mendapatkan ' tinggi sejati ' atau ' ts '. Kegiatan dalam rangka mendapatkan ' tinggi sejati ' dengan berbekal ' tinggi ukur ' bintang, disebut melakukan perbaikan tinggi.
Perbaikan tinggi perlu dilakukan, mengingat bahwa cahaya bintang yang sampai ke mata kita / pengamat, tidaklah dipancarkan berupa garis lurus sepanjang lintasannya di angkasa, melainkan telah disimpangkan oleh media sepanjang lintasannya, termasuk disimpangkan oleh atmosfer bumi. Suatu sudut atau sebagian busur lingkaran yang merupakan selisih antara arah sejati bintang dengan arah semu bintang, dinamakan Lengkungan Sinar.
Lengkungan sinar ada dua macam, yaitu Lengkungan Sinar Bumiawi dan Lengkungan Sinar Astronomis.
Lengkungan Sinar Bumiawi adalah penyimpangan cahaya yang disebabkan karena faktor geografi setempat. Contohnya ketika di tengah laut kita melihat tepi langit, yaitu suatu lengkungan yang terlihat sebagai pertemuan antara langit dengan permukaan laut, apa yang kita lihat itu sesungguhnya merupakan arah semu dari tepi langit, atau ' tepi langit maya '.
Tepi langit maya terjadi karena adanya ' lengkungan sinar bumiawi ', Dan disebut lengkungan sinar bumiawi karena besarnya sudut / simpangan yang diakibatkan oleh lengkungan sinar tidak sama untuk tiap-tiap tempat penilikan, melainkan tergantung dari faktor bumiawi / geografi setempat, yaitu lintang dan bujur tempat penilikan. Lihat gambar di bawah ini.
Lengkungan sinar ada dua macam, yaitu Lengkungan Sinar Bumiawi dan Lengkungan Sinar Astronomis.
Lengkungan Sinar Bumiawi adalah penyimpangan cahaya yang disebabkan karena faktor geografi setempat. Contohnya ketika di tengah laut kita melihat tepi langit, yaitu suatu lengkungan yang terlihat sebagai pertemuan antara langit dengan permukaan laut, apa yang kita lihat itu sesungguhnya merupakan arah semu dari tepi langit, atau ' tepi langit maya '.
Tepi langit maya terjadi karena adanya ' lengkungan sinar bumiawi ', Dan disebut lengkungan sinar bumiawi karena besarnya sudut / simpangan yang diakibatkan oleh lengkungan sinar tidak sama untuk tiap-tiap tempat penilikan, melainkan tergantung dari faktor bumiawi / geografi setempat, yaitu lintang dan bujur tempat penilikan. Lihat gambar di bawah ini.
Dari gambar di atas, OA adalah arah dari suatu titik dari tepi langit sejati, garis OA adalah garis tepi langit sejati. Suatu garis yang searah dengan mata penilik disebut garis dari Muka Cakrawala. Sudut BOA , yaitu sudut yang dibentuk antara arah suatu titik dari tepi langit sejati dengan muka cakrawala, disebut ' penundukan tepi langit '. Sedangkan sudut DOA, yaitu sudut yang dibentuk antara arah suatu titik pada tepi langit maya dengan muka cakrawala, disebut ' penundukan tepi langit maya '.
Dari gambar di atas terlihat, bahwa kedudukan tepi langit maya lebih tinggi dari pada tepi langit sejati. Sedangkan pengukuran tinggi bintang menggunakan sextan - yang menghasilkan tu - diperhitungkan dari tepi langit maya. Oleh karenanya tinggi ukur atau tu itu nantinya harus dikurangi dengan besarnya penundukan tepi langit maya, untuk mendapatkan tinggi bintang di atas cakrawala setempat. Sebagai hasilnya adalah ' tinggi setempat maya '.
Jadi, perbaikan tinggi terhadap tinggi ukur hasil dari pengukuran dengan sextan, pada dasarnya adalah koreksi karena adanya lengkungan sinar bumiawi. Setelah itu masih harus dikoreksi lagi dengan besarnya simpangan cahaya bintang yang disebabkan oleh adanya ' Lengkungan Sinar Astronomis '.
Lengkungan Sinar Astronomis
Cahaya bintang-bintang di langit yang sampai ke bumi menempuh jarak yang sangat jauh, dan telah melalui bermacam-macam media yang masing-masing berbeda kerapatannya. Para ilmuwan klasik seperti Aristotle, Rene Desscartes, Sir Isaac Newton dan lain-lainnya percaya, bahwa cahaya bintang-bintang yang sampai ke bumi merambat melalui media yang dinamakan luminiferous eather. Namun berbagai percobaan telah dilakukan, antara lain percobaan yang dilakukan oleh ilmuwan Amerika Michelson dan Morrey pada abad-19, dan semua percobaan-percobaan itu tidak berhasil mendeteksi adanya luminiferous aether. Sehingga aether dianggap tidak ada. Ada kemungkinan luminiferous aether itu ada tapi tidak bisa dibuktikan, karena mungkin saja sains belum mampu membuktikan keberadaannya.
Yang jelas, cahaya benda-benda angkasa yang sampai ke bumi telah melalui lapisan-lapisan atmosfer bumi, yang diketahui memiliki kerapatan udara yang berbeda. Diketahui bahwa keadaan lapisan udara di bumi, kerapatannya semakin renggang jika ketinggiannya bertambah besar. Di dekat permukaan bumi kerapatan udara lebih pekat dibandingkan dengan kerapatan lapisan udara di atasnya.
Hukum Snellius tentang refraksi cahaya menyatakan, bahwa jika suatu berkas cahaya melintas dari media yang lebih renggang kerapatannya ke media yang lebih pekat, maka berkas cahaya itu akan dibelokkan mendekati normal. Hal ini yang menyebabkan terjadinya lengkungan sinar astronomis ( astronomical refraction ). Cahaya dari benda-benda angkasa yang sampai ke bumi tidak berjalan lurus, melainkan membelok atau melengkung. Bayangkan misalnya ada beberapa lapisan udara di atas bumi di mana semakin ke atas keadaan udaranya semakin renggang, maka cahaya akan dibelokkan berkali-kali setiap melintas dari lapisan yang satu ke lapisan lainnya yang lebih pekat.
Hal ini dikaitkan dengan perbaikan tinggi bintang yang menghasilkan ' tinggi setempat maya ', maka untuk mendapatkan ' tinggi sejati ' bintang harus dikurangi lagi dengan besarnya sudut yang disebabkan oleh lengkungan sinar astronomis. Hal ini pula yang menyebabkan setiap kita melihat benda angkasa atau suatu bintang di langit, maka penampakan bintang tersebut selalu lebih tinggi dari posisi bintang yang sebenarnya. Posisi Semu bintang ( Observed / Apparent Position ) selalu lebih tinggi dari Posisi Sejati bintang ( Actual / True Position ).
Tinggi setempat maya setelah dikoreksi dengan lengkungan sinar astronomis akan menghasilkan Tinggi Setempat Sejati, hal ini ditunjukkan dengan sudut SAH' pada gambar di bawah ini. S = adalah bintang S, A = Penilik di bumi, dan AH' adalah garis pada Muka Cakrawala.
Garis AH' pada Muka Cakrawala sejajar dengan garis PH pada Cakrawala Sejati, sedangkan garis SP yang menghubungkan bintang S dengan titik pusat bumi P, memotong garis AH' di titik B, maka besarnya sudut SPH = sudut SBH'. Sudut ini yang dimaksud dengan Tinggi Sejati bintang S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar