Social Icons

Kamis, 20 Februari 2014

PEMBELOKAN CAHAYA TIDAK DISEBABKAN OLEH MEDAN GRAVITASI, TETAPI DISEBABKAN OLEH PEMBIASAN



Light deflection is not caused by gravity, but by refraction.

In astronomy, the deflection of light is something very common, and not caused by gravity field of a massive object, but it occurs due to  the light refraction.



Cahaya,  secara alami ada di sekitar kita,  baik di waktu siang hari maupun malam hari.  Cahaya tersebut dapat berasal dari sumber-sumber alam maupun buatan.  Ketika kita melihat suatu benda yang terletak jauh dari tempat kita berdiri,  kita berfikir bahwa apa yang kita lihat itu adalah penampakan sebenarnya.   Kita sering tidak menyadari,  bahwa apa yang kita lihat itu sesungguhnya bukan penampakan sebenarnya dari benda tersebut. 

Misalnya,  suatu saat kita berada di tepi pantai dan sedang mengagumi keindahan alam pada saat menjelang matahari terbenam.  Matahari terlihat bergerak turun perlahan-lahan,  dan suatu saat bagian tepi bawah matahari menyentuh tepi langit atau cakrawala.   Pemandangan yang sangat indah.  Namun kita tidak sadar ketika melihat pemandangan yang indah itu, bahwa matahari yang sebenarnya sudah turun di bawah cakrawala.  Jadi apa yang kita lihat itu bukan matahari sebenarnya,  melainkan matahari semu, atau matahari pada kondisi posisi semunya ( Apparent Position ).  Bahkan, cakrawala atau tepi langit yang kita lihat itupun bukan tepi langit sebenarnya,  melainkan tepi langit maya.

Penyebab dari fenomena tersebut adalah karena terjadinya suatu lengkungan sinar yang sampai ke mata kita.  Lengkungan sinar yang menyebabkan penampakan matahari semu disebut lengkungan sinar astronomis ( astronomical refraction ),  sedangkan yang menyebabkan penampakan tepi langit maya disebut lengkungan sinar bumiawi ( terrestrial refraction ).  Lengkungan sinar bumiawi ini pula yang menyebabkan terjadinya fenomena fatamorgana ( mirages ).  Dan fatamorgana bukanlah ilusi optik melainkan fenomena fisika yang nyata.

Demikian juga ketika pada malam hari yang cerah kita melihat ke langit,  dan mengagumi bintang-bintang yang bertaburan di angkasa.  Semua benda-benda angkasa itu bukan dalam kondisi sebenarnya,  melainkan adalah pada kondisi posisi semunya,  dan penyebabnya adalah astronomical refraction.

Dari penjelasan di atas timbul pertanyaan,  apakah kita tidak pernah bisa melihat dengan mata telanjang,  sebuah bintang di langit dalam kondisi posisi sejatinya ?  Peluang itu ada, walaupun terbatas,  dan akan ditemui dalam pembahasan berikut ini.

Lengkungan sinar terjadi karena cahaya suatu obyek  yang sampai ke mata kita / pengamat, tidaklah dipancarkan berupa garis lurus,  melainkan telah disimpangkan oleh media sepanjang lintasannya,  termasuk disimpangkan oleh atmosfer bumi. Lengkungan sinar adalah suatu sudut yang terjadi antara arah posisi semu dan arah dari posisi sejati dari obyek tersebut.

Cahaya bintang-bintang di langit yang sampai ke bumi menempuh jarak yang sangat jauh,  dan telah melalui bermacam-macam media yang masing-masing berbeda kerapatannya.   Para ilmuwan klasik seperti Aristotle, Rene Desscartes, Sir Isaac Newton dan lain-lainnya percaya,  bahwa cahaya bintang-bintang yang sampai ke bumi merambat melalui media yang dinamakan luminiferous aether. 

Namun berbagai percobaan telah dilakukan,  antara lain percobaan yang dilakukan oleh ilmuwan Amerika Michelson and Morleyi pada abad-19,  dan semua percobaan-percobaan itu tidak berhasil mendeteksi adanya luminiferous aether,  sehingga aether dianggap tidak ada.  Ada kemungkinan luminiferous aether itu ada tapi tidak bisa dibuktikan.

Yang jelas,  cahaya benda-benda angkasa yang sampai ke bumi telah melalui lapisan-lapisan atmosfer bumi,  yang diketahui memiliki kerapatan udara yang berbeda.   Di dekat permukaan bumi kerapatan udara lebih pekat dibandingkan dengan kerapatan lapisan udara di atasnya.  Dan kerapatan semakin renggang dengan bertambahmya ketinggian

Hukum Snellius (Snell's law ) tentang refraksi cahaya menyatakan, bahwa jika suatu berkas cahaya melintas dari media yang satu ke media lainnya yang berbeda kerapatan ( density ),  maka berkas cahaya itu akan dibiaskan. Besarnya sudut bias tergantung dari kerapatan medianya.  Sebagai contoh,  suatu berkas cahaya yang dilewatkan ke air,  maka berkas cahaya itu akan dibiaskan mendekati normal.  Pada gambar di bawah digambarkan  garis normal adalah N – N’.   Cahaya melintas dari A ke B,  dan lintasan cahaya membentuk sudut ABN.  Sudut ABN disebut sudut datang ( angle of incidence ).


 


Di dalam air, arah lintasan cahaya dibiaskan mendekati garis normal, yaitu arah BC,  dan membentuk sudut CBN’. Sudut CBN’ disebut sudut bias ( angle of refraction ).  Dan sinus sudut datang dan sinus sudut bias mempunyai perbandingan yang tetap.  Perbandingan tersebut disebut indek bias ( index of refraction ). 

Snell's law states that the ratio of the sines of the angles of incidence and refraction is equivalent to the ratio of phase velocities  the two media, or equivalent to the reciprocal of the ratio of the indices of refraction

Berkas cahaya tidak dibiaskan jika lintasannya searah dengan normal.  Hal ini menjawab pertanyaan di atas tadi,   suatu peluang dan satu-satunya kesempatan untuk melihat bintang di posisi sejatinya,  yaitu ketika bintang tersebut berada tepat lurus di atas kepala kita selaku penilik,  atau tepat di titik Zenith. 



Pada gambar di atas ,  perbedaan kerapatan udara dengan kerapatan air cukup besar atau mendadak,  oleh sebab itu lintasan cahaya di udara dan di dalam air terlihat seperti garis yang patah.  Berbeda dengan lintasan cahaya di atmosfer bumi.  Kerapatan udara lapisan-lapisan atmosfer bumi berubah secara gradual dan teratur,  hal ini yang menyebabkan pembiasan cahaya berbentuk suatu lengkungan. Dan akibat dari lengkungan itu maka posisi semu bintang akan selalu tampak lebih tinggi dari posisi sebenarnya.

Lengkungan sinar atau pembelokan cahaya juga dikenal dalam teorinya Einstein, yaitu suatu pembelokan cahaya ketika melewati medan gravitasi benda massif.   Menurut teori ini,  ketika cahaya sebuah bintang melintas di dalam medan gravitasi matahari, maka cahaya bintang itu akan dibelokkan ke dalam,  sehingga  akan  terjadi juga adanya posisi semu dan posisi sejati bintang.  

If Einstein's theory of relativity was correct, then the light from stars that passed closest to the sun would show the greatest degree of "bending."    

Dan bintang-bintang yang lintasan cahayanya jauh dari matahari,  cahayanya tidak dibelokkan.  Bintang-bintang yang cahayanya tidak dibelokkan berarti tidak ada perbedaan antara posisi semu dan posisi sejati bintang.  Jika konsisten dengan teori ini,  maka berarti  semua bintang-bintang yang tampak pada malam hari adalah pada kondisi penampakan posisi sejatinya,  karena bintang-bintang itu tidak melewati medan gravitasi.  Hal ini tentunya tidak benar dipandang dari keilmiahan astronomi. 

Dalam astronomi,  adanya posisi semu dan posisi sejati bintang disebabkan oleh lengkungan sinar,  baik astronomical refraction maupun terrestrial refraction,  dan bukan disebabkan karena pengaruh medan gravitasi.  Dan akibat dari adanya lengkungan sinar tersebut,  maka posisi semu bintang selalu tampak lebih tinggi dari posisi sebenarnya,  berbeda dengan penggambaran pembelokan cahaya pada referensi yang disebut di atas.





What causes a mirage?

Edwin Meyer, a physics professor at Baldwin-Wallace College, explains.

To understand how a mirage forms, one must first understand how light travels through air. If the air is all the same temperature--cold or hot--light travels through it in a straight line. If a steady temperature gradient exists, however, light will follow a curved path toward the cooler air. The standard freshman physics explanation for this phenomenon is that cold air has a higher index of refraction than warm air does. As a result, photons (particles of light) travel through hot air faster than they can through cold air because the hot air is less dense. The quantum electrodynamics explanation is that photons always take the path of minimum time when traveling from one point to another. In order to get from one point to another in a minimum time, photons will take "shortcuts" even though the length of the path is curved and it covers a longer distance than the direct route.

Mirages are a direct result of photons taking the path of minimum time in vertical temperature gradients. Ideal conditions for a mirage are still air on a hot, sunny day over a flat surface that will absorb the sun's energy and become quite hot. When these conditions exist, the air closest to the surface is hottest and least dense and the air density gradually increases with height. Incoming photons take a curved path from the sky to the viewer's eye. The illusion comes from the fact that quantum electrodynamics is not intuitive and the human brain assumes that light travels in a straight line. A viewer looking at, say, the road ahead on a hot, still, day will see the sky because photons from the sky are taking the curved path that minimizes the time taken. The brain interprets this as water on the road because water would reflect light from the sky in much the same way that a vertical temperature gradient does.

A simple experiment can demonstrate the manner in which a light beam bends in a vertical density gradient. Fill a long glass tank with water, dissolve sugar in the water and shine a laser beam in one end. The vertical gradient produced by the sugar concentration will cause the beam to bend. If the tank is long enough and a mirror is placed on the bottom, the beam will "bounce" along the bottom of the tank.

( www.scientificamerican.com )




Albert Einstein Has Failed In Three Classical Tests


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates