Light deflection is not caused by gravity, but by refraction.
In astronomy, the deflection of
light is something very
common, and not caused by gravity field of a massive object, but it occurs due
to the light refraction.
Cahaya, secara alami ada di sekitar kita, baik di waktu siang hari maupun malam
hari. Cahaya tersebut dapat berasal dari
sumber-sumber alam maupun buatan. Ketika
kita melihat suatu benda yang terletak jauh dari tempat kita berdiri, kita berfikir bahwa apa yang kita lihat itu
adalah penampakan sebenarnya. Kita
sering tidak menyadari, bahwa apa yang
kita lihat itu sesungguhnya bukan penampakan sebenarnya dari benda tersebut.
Misalnya, suatu saat kita berada di tepi pantai dan
sedang mengagumi keindahan alam pada saat menjelang matahari terbenam. Matahari terlihat bergerak turun
perlahan-lahan, dan suatu saat bagian
tepi bawah matahari menyentuh tepi langit atau cakrawala. Pemandangan
yang sangat indah. Namun kita tidak sadar ketika melihat
pemandangan yang indah itu, bahwa matahari
yang sebenarnya sudah turun di bawah cakrawala.
Jadi apa yang kita lihat itu bukan matahari sebenarnya, melainkan matahari semu, atau matahari pada
kondisi posisi semunya ( Apparent Position ).
Bahkan, cakrawala atau tepi langit yang kita lihat itupun bukan tepi
langit sebenarnya, melainkan tepi langit
maya.
Penyebab dari fenomena tersebut adalah karena
terjadinya suatu lengkungan sinar yang sampai ke mata kita. Lengkungan sinar yang menyebabkan penampakan
matahari semu disebut lengkungan sinar astronomis ( astronomical refraction
), sedangkan yang menyebabkan penampakan
tepi langit maya disebut lengkungan sinar bumiawi ( terrestrial refraction ). Lengkungan sinar bumiawi ini pula yang menyebabkan
terjadinya fenomena fatamorgana ( mirages ).
Dan fatamorgana bukanlah ilusi optik melainkan fenomena fisika yang nyata.
Demikian juga ketika
pada malam hari yang cerah kita melihat ke langit, dan mengagumi bintang-bintang yang bertaburan
di angkasa. Semua benda-benda angkasa
itu bukan dalam kondisi sebenarnya,
melainkan adalah pada kondisi posisi semunya, dan
penyebabnya adalah astronomical refraction.
Dari penjelasan di atas
timbul pertanyaan, apakah kita tidak
pernah bisa melihat dengan mata telanjang,
sebuah bintang di langit dalam kondisi posisi sejatinya ? Peluang itu ada, walaupun terbatas, dan akan ditemui dalam pembahasan berikut
ini.
Lengkungan
sinar terjadi karena cahaya suatu obyek yang sampai ke mata kita / pengamat, tidaklah
dipancarkan berupa garis lurus, melainkan telah disimpangkan oleh media
sepanjang lintasannya, termasuk disimpangkan oleh atmosfer bumi. Lengkungan sinar adalah suatu sudut yang terjadi
antara arah posisi semu dan arah dari posisi sejati dari obyek
tersebut.
Cahaya bintang-bintang di langit yang sampai ke bumi
menempuh jarak yang sangat jauh, dan telah melalui bermacam-macam media
yang masing-masing berbeda kerapatannya. Para ilmuwan klasik seperti
Aristotle, Rene Desscartes, Sir Isaac Newton dan lain-lainnya percaya,
bahwa cahaya bintang-bintang yang sampai ke bumi merambat melalui media yang
dinamakan luminiferous aether.
Namun berbagai percobaan telah
dilakukan, antara lain percobaan yang dilakukan oleh ilmuwan Amerika Michelson and Morleyi pada abad-19, dan semua percobaan-percobaan itu
tidak berhasil mendeteksi adanya luminiferous aether, sehingga aether dianggap tidak ada. Ada
kemungkinan luminiferous aether itu ada tapi tidak bisa dibuktikan.
Yang jelas, cahaya benda-benda angkasa yang
sampai ke bumi telah melalui lapisan-lapisan atmosfer bumi, yang
diketahui memiliki kerapatan udara yang berbeda. Di dekat permukaan
bumi kerapatan udara lebih pekat dibandingkan dengan kerapatan lapisan udara di
atasnya.
Dan kerapatan semakin renggang dengan bertambahmya ketinggian
Hukum Snellius (Snell's law ) tentang refraksi cahaya menyatakan, bahwa jika suatu berkas cahaya
melintas dari media yang satu ke media lainnya yang berbeda kerapatan ( density ), maka berkas cahaya itu akan dibiaskan.
Besarnya sudut bias tergantung dari kerapatan medianya. Sebagai contoh, suatu berkas cahaya yang dilewatkan ke
air, maka berkas cahaya itu akan
dibiaskan mendekati normal. Pada gambar
di bawah digambarkan garis normal adalah
N – N’. Cahaya melintas dari A ke B, dan lintasan cahaya membentuk sudut ABN. Sudut ABN disebut sudut datang ( angle of
incidence ).
Di dalam air, arah lintasan cahaya dibiaskan mendekati garis
normal, yaitu arah BC, dan membentuk
sudut CBN’. Sudut CBN’ disebut sudut bias ( angle of refraction ). Dan sinus sudut datang dan sinus sudut bias
mempunyai perbandingan yang tetap.
Perbandingan tersebut disebut indek bias ( index of refraction ).
Snell's law states that the ratio of the sines of the angles of
incidence and refraction is equivalent to the ratio of phase velocities the two media, or equivalent to the reciprocal
of the ratio of the indices of refraction
Berkas cahaya tidak dibiaskan jika lintasannya searah dengan
normal. Hal ini menjawab pertanyaan di
atas tadi, suatu peluang dan satu-satunya kesempatan
untuk melihat bintang di posisi sejatinya,
yaitu ketika bintang tersebut berada tepat lurus di atas kepala kita
selaku penilik, atau tepat di titik Zenith.
Pada gambar di atas ,
perbedaan kerapatan udara dengan kerapatan air cukup besar atau
mendadak, oleh sebab itu lintasan cahaya
di udara dan di dalam air terlihat seperti garis yang patah. Berbeda dengan lintasan cahaya di atmosfer
bumi. Kerapatan udara lapisan-lapisan
atmosfer bumi berubah secara gradual dan teratur, hal ini yang menyebabkan pembiasan cahaya
berbentuk suatu lengkungan. Dan akibat
dari lengkungan itu maka posisi semu bintang akan selalu tampak lebih tinggi
dari posisi sebenarnya.
Lengkungan
sinar atau pembelokan cahaya juga dikenal dalam teorinya Einstein, yaitu suatu
pembelokan cahaya ketika melewati medan gravitasi benda massif. Menurut teori ini, ketika cahaya sebuah bintang melintas di
dalam medan gravitasi matahari, maka cahaya bintang itu akan dibelokkan ke
dalam, sehingga akan
terjadi juga adanya posisi semu dan posisi sejati bintang.
If Einstein's theory of relativity was
correct, then the light from stars that passed closest to the sun would
show the greatest degree of "bending."
Dan
bintang-bintang yang lintasan cahayanya jauh dari matahari, cahayanya tidak dibelokkan. Bintang-bintang yang cahayanya tidak
dibelokkan berarti tidak ada perbedaan antara posisi semu dan posisi sejati
bintang. Jika konsisten dengan teori
ini, maka berarti semua bintang-bintang yang tampak pada malam
hari adalah pada kondisi penampakan posisi sejatinya, karena bintang-bintang itu tidak melewati
medan gravitasi. Hal ini tentunya tidak
benar dipandang dari keilmiahan astronomi.
Dalam astronomi, adanya posisi semu dan posisi sejati bintang
disebabkan oleh lengkungan sinar, baik
astronomical refraction maupun terrestrial refraction, dan bukan disebabkan karena pengaruh medan
gravitasi. Dan akibat dari adanya lengkungan sinar tersebut, maka posisi semu bintang selalu tampak lebih
tinggi dari posisi sebenarnya, berbeda
dengan penggambaran pembelokan cahaya pada referensi yang disebut di atas.
Edwin Meyer, a physics professor at Baldwin-Wallace College, explains.
To understand how a mirage forms, one must first understand how light
travels through air. If the air is all the same temperature--cold or
hot--light travels through it in a straight line.
If a steady temperature gradient exists, however, light will follow a
curved path toward the cooler air. The standard freshman physics
explanation for this phenomenon is that cold air has a higher index of
refraction than warm air does. As a result, photons (particles of light)
travel through hot air faster than they can through cold air because
the hot air is less dense. The quantum electrodynamics explanation is
that photons always take the path of minimum time when traveling from
one point to another. In order to get from one point to another in a
minimum time, photons will take "shortcuts" even though the length of
the path is curved and it covers a longer distance than the direct
route.
Mirages are a direct result of photons taking the path of minimum
time in vertical temperature gradients. Ideal conditions for a mirage
are still air on a hot, sunny day over a flat surface that will absorb
the sun's energy and become quite hot. When these conditions exist, the
air closest to the surface is hottest and least dense and the air
density gradually increases with height. Incoming photons take a curved
path from the sky to the viewer's eye. The illusion comes from the fact
that quantum electrodynamics is not intuitive and the human brain
assumes that light travels in a straight line. A viewer looking at, say,
the road ahead on a hot, still, day will see the sky because photons
from the sky are taking the curved path that minimizes the time taken.
The brain interprets this as water on the road because water would
reflect light from the sky in much the same way that a vertical
temperature gradient does.
A simple experiment can demonstrate the manner in which a light beam bends in a vertical density gradient. Fill a long glass tank with water, dissolve sugar in the water and shine a laser beam in one end. The vertical gradient produced by the sugar concentration will cause the beam to bend. If the tank is long enough and a mirror is placed on the bottom, the beam will "bounce" along the bottom of the tank.
( www.scientificamerican.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar